Selasa, 22 Desember 2009

10 Kesalahan Dalam Mendidik Anak


Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar ; dan termasuk menghianati amanah Allah.

Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anak.

BAHAYA LALAI DALAM MENDIDIK ANAK

Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya.

Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 58]

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

“Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]


SEPULUH KESALAHAN DALAM MEDIDIK ANAK

Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.

Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai kebakaran jenggot atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.

Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya ; yang tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.

Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya.


[1]. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak

Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain.


Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.


[2]. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain. Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.

Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran.


[3]. Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.

Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran.


[4]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak

Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.


[5]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.

Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri.


[6]. Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran.

Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya.



[7]. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran

Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai cara. Misalnya : dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah mindzalik


[8]. Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya.

Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.


[9]. Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.

Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain.


[10]. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya

Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.

Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya.

Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia.

Senin, 07 Desember 2009

Tragedi Sepasang Sepatu

Di TK Baiturahman Karawang sabtu pagi.


Di serambi sebuah kelas, Ibong sedang bersusah payah memakai sepatu boot warna merah-biru miliknya ke kaki kanannya. Cukup lama. Bu Irma, salah satu guru di TK itu lewat dan mendekati Ibong untuk membantu mengenakan sepatu. Seperti halnya Ibong, bu Irma dengan susah payah berusaha memasukkan kaki Ibong ke dalam sepatu. Menarik dan mendorong, juga menggeser sedikit demi sedikit akhirnya bu Irma berhasil memasangkan sepatu di kaki kanan Ibong. Kerudung bu Irma yang bagian atas basah oleh keringatnya. Kini, ia berusaha memasangkan sepatu yang kiri. Sama susahnya.

“Bu Irma, sepatu Ibong terbalik!” kata Ibong, setelah bu Irma selesai memasangkan sepatu kiri.

Bu Irma pun melepas kedua sepatu dari kaki mungil Ibong. Seperti masuknya tadi, keluarnya pun susah. Keringat makin bercucuran dari leher dan dahi bu Irma. Ia tidak mengira sama sekali, begitu sulitnya melepas sepatu. Ia terus berusaha supaya dalam proses pelepasan sepatu tadi tidak menyakiti kaki Ibong.

“Alhamdulillah, akhirnya terlepas juga,” gumam bu Irma. Ia pun segera memasangkan kembali sepatu-sepatu itu pada posisinya yang benar. Masih tetap dengan usaha keras, tentu saja.

Ketika hampir selesai terpasang semua, dengan polos Ibong berkata, “Ini bukan sepatu Ibong!” Bu Irma mengambil napas dalam-dalam untuk membuang rasa jengkelnya dan dengan sisa kesabarannya ia kembali melepas sepatu-sepatu itu. Anak-anak lain mulai mengerubungi tempat itu. Kondisi semacam inilah yang membuat bu Irma berusaha keras tetap sabar dan tetap bisa menyunggingkan senyum di hadapan anak didiknya.

Untuk mengurangi rasa pegal di badannya, bu Irma berdiri sejenak. Ia benar-benar kelelahan memasang-melepas sepatu Ibong. Sebetulnya, dari dalam hatinya ia sangat mendongkol.

“Ibong sayang, kenapa tidak bilang dari tadi sih? Lalu, ini sepatu milik siapa?” mata bu Irma menyapukan pandangan kepada anak-anak yang ada di sekitar tempat itu sambil menenteng sepatu boot itu. Semua diam.

“Itu sepatu adik saya bu. Tadi pagi mama menyuruh Ibong memakai sepatu itu ke sekolah,” jawab Ibong.

Bu Irma hampir saja berteriak, tapi segera saja ia sadari bahwa ia harus menjaga sikap. Di hati kecilnya, ia merasa geli. Kemudian ia kembali memasangkan sepatu yang kekecilan tadi ke kaki Ibong. Dengan usaha yang sangat keras, tentu saja.

Selesai sudah siksaan pagi itu. Kedua sepatu telah terpasang di kedua kaki Ibong. Ia hapus peluh di wajahnya, sambil menatap sepatu merah-biru milik Ibong. Ia terperanjat, menyadari ada yang janggal di kaki Ibong. Ya, Ibong tidak memakai kaos kaki.

“Sayang, ke mana kaos kakimu?” dengan sisa kesabarannya ia bertanya.

“Ibong sumpalkan ke dalam sepatu ini, bu!” jawab Ibong, tanpa merasa bersalah.

Dan bu Irma pun langsung terduduk lemas di selasar kelas. Entah, apa yang ada dalam hati dan fikirannya saat itu : kecewa, sedih, bingung, marah, atau malah tertawa terbahak-bahak?

Pernahkah Anda menghadapi situasi seperti yang bu Irma alami?

Rabu, 02 Desember 2009

Ajari Anak Menabung


Hemat pangkal kaya. Begitulah pepatah yang sering kita dengar. Menabung memang hal yang penting. Dengan memiliki tabungan,kita dapat memiliki hal-hal kita inginkan dan mempunyai cadangan dana saat diperlukan. Sebaliknya, dengan menghabiskan uang kita, maka hidup kita menjadi tidak terencana. Sikap suka menabung ini perlu kita tanamkan dalam diri anak-anak kita sejak masih kecil, karena sebagai orang-tua, tentu kita ingin anak kita memiliki kebiasaan yang baik ini. Tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan ini secara tepat pada anak-anak kita?

Cara kita menanamkan kebiasaan ini tentu berbeda-beda tergantung pada usia anak. Pada anak yang belum bersekolah atau masih TK, kita bisa memberi pengertian pada anak kita bahwa tidak semua hal yang dia inginkan bisa kita belikan. Misalnya, anak-anak ini harus dilatih bila ia ingin membeli makanan berarti dia tidak dapat membeli mainan. Untuk anak seumur ini, mungkin tidak bijaksana bila kita memberikan uang karena pada usianya yang masih kecil, ia tidak mengerti tentang uang dan tentang berapa yang harus ia bayar. Tetapi, kita bisa mengenalkan uang pada anak kita, misalnya dengan membiarkan ia memegang uang untuk kemudian dibayarkan pada kasir. Ini merupakan langkah pertama anak mengenal uang.

Untuk anak-anak yang sudah memasuki SD. Kita dapat memberikan uang saku pada anak kita dan mengenalkannya kepada jajan dan menabung. Kita dapat mengajarkan manfaat menabung dengan menanyakan barang apa yang dia inginkan kemudian membantu memberitahu cara menabung agar ia dapat memiliki barang tersebut. Misalnya,saat dia menginginkan sepatu baru kita tidak langsung memberikannya tetapi mengajak dia untuk menabung dari uang jajannya agar dapat memiliki sepatu yang dia inginkan. Hal ini dapat membantunya untuk lebih semangat dalam menabung dan mengerti apa manfaatnya dari dia menabung.

Anak-anak yang tidak terbiasa menabung, biasanya akan selalu menghabiskan uang yang diberikan padanya. Orang-tua dapat membantu menghilangkan kebiasaan jajan pada anak-anak dengan menjelaskan bahwa bila semua uang yang diberikan digunakan untuk jajan, berarti tidak ada uang yang ditabung dan akibatnya anak tidak dapat membeli barang yang ia inginkan.

Untuk anak-anak yang sudah mulai SMP, orang-tua dapat mengajarkan tentang tabungan investasi. Misalnya, dengan mengenalkan tentang reksadana, membeli mata uang asing, membeli logam mulia atau investasi lainnya. Atau untuk anak-anak perempuan, biasanya mereka senang dengan aksesoris maka kita dapat menganjurkan mereka membeli gelang atau kalung emas.

Orang-tua harus memberikan teladan dalam menabung. Bila kita menganjurkan anak kita menabung tetapi kita sendiri sering belanja, tentu anak-anak akan protes pada diri kita. Hal lain yang harus diingat adalah karena mereka masih anak-anak, maka buat agar menabung sebagai sesuatu yang fun. Tidak berarti bahwa semua uang mereka harus ditabung, tetapi biarkan sebagian uang dapat mereka gunakan untuk kesenangan mereka sehingga mereka tidak merasa terbebani.

Selasa, 01 Desember 2009

Kartun Dan Dunia Anak Anak


Dunia anak-anak penuh dengan imajinasi dan kreasi. Itulah sebabnya, sebagian besar mereka menyukai gambar, sketsa, kartun atau komik. Di tangan orang bijak, kartun/komik adalah alat yang menyenangkan untuk belajar. Belajar apa saja. Belajar matematika, doa, sikap, dan juga bahasa.

Kartun ini adalah alat belajar bahasa Inggris. Sekedar untuk menjelaskan to be, seorang guru mau bersusah-susah untuk menggambar coretan-coretan dalam bentuk kartun. Anak-anak menyukainya dan mereka memahaminya, lekat di kepala.
Link2Communion.com
Sudah terbukti ampuh,bukan hanya janji. Anda juga bisa.Buruan!